PERKATAAN YANG BERNUANSA KEJI DAN MENYAKITKAN
Tongkat dan batu dapat menghancurkan tulangku, tetapi kata-kata dapat menghancurkan hatiku. (Rober Fulghum)
Tak
pelak lagi bagian ini merupakan bagian tersulit dan tidak menyenangkan
dari buku ini. Ada dua alasan untuk ini. Yang pertama adalah karena
bagian ini tentang sesuatu yang saya anggap sungguh-sungguh menjijikkan:
menggunakan kata-kata seakan-akan mereka adalah senjata, menggunakannya
dengan sengaja untuk menimbulkan kepedihan pada diri orang lain.
Kadang-kadang kepedihan itu begitu melukai dan berlangsung lama. Yang
kedua adalah bahwa bagian ini menyebabkan timbulnya berbagai kenangan
yang mengganggu tentang saat-saat kita menjadi sangat terluka akibat
kelalaian atau perkataan kasar yang disengaja oleh orang lain. Saya
memohon maaf bila bagian ini menyentuh bagian terparah dari tumpukan
kenangan Anda, tetapi saya merasa penting kiranya bagi kita untuk
bertumbuh dari berbagai pengalaman yang menyakitkan ini. Apabila kita
peduli betapa kata-kata seseorang menyakitkan kita di masa lalu, kita
akan berusaha untuk tidak melakukan hal yang sama terhadap orang lain.
Konfusius menyarankan kepada kita beribu-ribu tahun lalu agar tidak
melakukan kepada orang lain apa yang tidak ingin dilakukan oleh orang
lain kepada kita. Nasihat yang bijaksana ini pun menyarankan agar kita
tidak melukai orang lain dengan kata-kata.
Apakah
jenis bahasa yang menyakitkan ini lebih lazim saat ini ketimbang masa
lalu? Hasil jajak pendapat public membenarkan hal tersebut dan sejumlah
ahli sosiologi yang ternama pun memastikan hal ini sedang terjadi karena
sejumlah alasan. Alasan yang utama adalah media hiburan. Dimulai pada
akhir tahun 1960-an, film-film layar lebar menjadi lebih “nyata” dalam
penggunaan bahasa kasar. Tampaknya inilah yang mengawali banjirnya
penggunaan bahasa kasar. Pada akhirnya, penggunaan kata-kata kasar
semacam ini berkembang di media televisi, industry komedi, dan musik.
Dan bersamaan dengan apa yang kita sebut sebagai “kata-kata kotor”,
hadir pula kekerasan verbal—merendahkan orang dengan bahasa yang kasar.
Hal ini malah telah menjadi sebuah bentuk hiburan. Sekarang kita
mendengar bahasa ini hampir setiap kali kita melihat televise, bahkan di
dalam tayangan komedi situasi pada jam-jam prime-time sekalipun. Saya rasa itu artinya merendahkan orang dengan menyakiti, melukai perasaan mereka dianggap sesuatu hal yang lucu.
Alasan
lain dari meningkatnya penggunaan bahasa kasar ini adalah peningkatan
kadar stres. Dalam masyarakat kita yang serbacanggih, serbaotomatis, dan
serbaguna, jutaan manusia berusaha melakukan terlalu banyak hal dengan
mengurangi waktu untuk tidur, beristirahat, dan merenung. Orang-orang
ini juga selalu terburu-buru, memiliki saraf-saraf yang letih, dan siap
untuk meledak setiap saat. Mereka menjadi frustasi, lalu marah, dan
kemudian kata-kata yang berbisa pun mulai mengalir dari mulut mereka.
Korbannya sudah banyak. Kita mendengar jenis bahasa seperti ini setiap
hari—di took, di kantor, di dalam keluarga, di sekolah, dalam acara
pertandingan olahraga, di bandara, di dalam mobil—nyaris di mana saja.
Sayang
sekali, sebagian besar dari kita telah menjadi penerima dari kata-kata
tak berguna ini dan rasa sakit yang diakibatkannya melebihi pukulan
tongkat dan lemparan batu. Beberapa kata memiliki cara untuk menembus
hati kita. Kata-kata itu masuk ke dalam, membuat luka yang besar, dan
seringkali meninggalkan bekas luka yang baru dapat disembuhkan dalam
waktu yang lama. Saya mendorong Anda dengan sangat untuk belajar
mengendalikan lidah, terutama ketika berada dalam situasi emosional.
Sekali mengatakannya, Anda tidak dapat menjilatnya kembali. Dan
kata-kata yang hanya perlu beberapa detik untuk mengatakannya, dapat
menyebabkan kepedihan yang berlangsung bertahun-tahun.
…lidah curang melukai hati. (Amsal 15:4)
MENGOREKSI DIRI SENDIRI—ALA BENJAMIN FRANKLIN
Saya
kagum pada Benjamin Franklin sejak membaca autobiografinya saat
mengikuti kuliah sejarah di kampus. Salah satu hal dari tulisannya yang
membekas dalam diri saya adalah metode yang ia gunakan untuk
menghilangkan berbagai kebiasaan buruk. Ia menulis dalam jurnal
pribadinya sebuah daftar kelakukan yang ingin ia ubah. Kemudian, pada
akhir tiap hari, ia menulis sebuah titik dalam jurnal itu setiap kali ia
melakukan kebiasaan yang sedang ia coba hindari. Tujuannya adalah,
tentu saja, untuk melalui beberapa minggu tanpa harus menuliskan satu
titik pun dalam halaman jurnal itu.
Saya
mencobakan tugas ini bersamaan dengan Dirty Thirty kepada murid SMA dan
mahasiswa, dan tugas ini cukup berhasil. Setelah menunjukkan kepda
mereka daftar kata-kata yang tidak begitu menyenangkan untuk diucapkan,
saya bertanya apakah ada dari mereka dalam kelas itu yang hanya berjuang
melawan sedikit kata-kata yang termasuk di dalam daftar. Jawaban yang
sering saya dengar, mereka harus berjuang untuk kata-kata yang “lebih
dari sedikit”. Saya meminta mereka memilih tiga hal yang paling ingin
mereka hentikan untuk diucapkan. Kemudian saya member tiga kartu indeks
kepada setiap murid dan memasukkan tanggalnya. Instruksi bagi mereka
adalah agar mereka membawa kartu-kartu itu dan menulis sebuah titik pada
kartu itu setiap kali mereka mengucapkan perkataan yang tidak ingin
mereka ucapkan. Kami melalukan hal ini selama lima hari berturut-turut.
Saya katakana “kami” karena saya pun melakukannya bersama mereka.
Meskipun
tidak semua siswa menganggap tugas ini serius, mereka yang melakukannya
dengan baik mengaku mendapat manfaat besar darinya. Mereka menemukan
betapa sulitnya mengubah kebiasaan (terutama kebiasaan verbal). Mereka
menikmati tantangan yang ada dan membuat perkembangan yang signifikan
dalam mencapai tujuan-tujuan mereka. Saya telah menggunakan metode ini
sebelumnya, tetapi tidak dalam kaitannya dengan bahasa. Ternyata
situasinya lebih sulit daripada yang saya duga, tetapi saya berhasil
meningkatkan secara dramatis kesadaran saya sendiri akan pilihan-pilihan
verbal dan mengeliminasi beberapa hal tidak menyenangkan yang tampaknya
keluar dari mulut saya secara teratur tanpa saya sadari.
Beberapa
catatan tambahan tentang Dirty Thirty. Pertama, tak seorang pun
sempurna, dan kita tidak seharusnya, menghukum diri sendiri saat membuat
sebuah kesalaha, baik secara verbal maupun nonverbal. Bila kita dapat
mengurangi kesalahan-kesalahan itu dan meningkatkan cara kita berbicara
kepada orang lain, kita sedang membuat sebuah kemajuan. Kedua, ada saat
kita perlu memberikan kritikan, saat kita berhak untuk mengeluh,
mengekspresikan kemarahan bila perlu. Yang penting, kita belajar untuk
melakukan semua ini pada saat yang tepat dan dengan cara yang benar.
Sedangkan untuk ke-27 hal lain dalam daftar, kita akan dapat
mengeliminasi semuanya dengan baik.
Seni
bercakap-cakap yang sesungguhnya tidak hanya mengatakan hal yang benar
di tempat yang benar, tetapi juga, ini jauh lebih sulit, untuk tidak
mengatakan hal yang salah di saat yang begitu menggoda. (Dorothy Nevill)
Sumber: Positive Words, Powerful Results; Oliver Wendell Holmes